Senin, 27 Agustus 2012

Asal Mula Batu Kapal

Asal Mula Batu Kapal Senin, 13 August 2012 00:00 RANAI - Batu Kapal merupakan suatu kawasan yang kini sangat terkenal di seantero Natuna. Sebab di perkampungan tersebut terdapat pusat hiburan rakyat dan pujasera yang didirikan oleh Perusahaan Daerah Natuna (Perusda). Konon nama Kampung Batu Kapal tersebut diambil dari kapal yang jadi batu karena ditenggelamkan. Kapal tersebut ceritanya miliki kelompok Lanun (bajak laut) yang sangat kejam. Ceritanya, suatu ketika, gerombolan lanun melakukan aksi penculikan di Ceruk dan kapalnya dijangkar di sekitar wilayah Batu Kapal. Jarak antara Kampung Batu Kapal dengan Desa Ceruk sekitar 7 sampai 10 kilometer. Namun, benar kata orang bijak diatas langit masih ada langit. Artinya, sehebat apapun gerombolan lanun itu pastilah ada pendekar sakti yang akan bisa menaklukkannya karena mereka tidak selamanya hebat. Kelompok lanun yang tidak satupun mengetahui asal usulnya itu menemui sialnya pada hari itu. Ia pun menculik seorang perempuan tua. Perempuan itu ibu kandung dari Tok Nyong (Datok Nyong) di Desa Ceruk. Tok Nyong sendiri dikenal sebagai pencari sagu (malok sagu) dan nyadep nyok (bikin minyak-red). Pada hari itu, Tok Nyong pergi ke Desa Kelanga untuk mencari Sagu. Tinggallah ibunya seorang diri di rumah. Namun, sepulangnya ke rumah, Tok Nyong kaget bukan kepalang, karena ibunya sudah diculik oleh kelompok lanun. Setelah sadar, lanun yang menculik ibunya, Ia pun langsung berlari mengejar gerombolan lanun. Kemudian, kelompok lanun tersebut ditemukan di Laut Ranai. Kelompok lanun itu dibunuh semua oleh Tok Nyong dan kapalnya pun ditenggelamkan. Setelah kapal lanun nan zalim itu ditenggelamkan, tiba-tiba kapal tersebut berubah menjadi batu. Batu itu disebut dengan Batu Kapal dan kini di sekitar batu tersebut dikenal dengan nama Kampung Batu Kapal, yang persis berada di pinggiran Kota Ranai sebelah timur laut. (cw61)

Masjid Jamik Ranai Dibangun dengan Jam Matahari

Masjid Jamik Ranai Dibangun dengan Jam Matahari Senin, 27 August 2012 00:00 BERKUNJUNG ke Ranai, ibukota Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau jika tidak singgah di Masjid Jamik Ranai, maka akan kehilangan salah satu jejak sejarah Natuna. Masjid yang berada di perempatan Jalan Soekarno Hatta dengan Jalan Wan Muhammad Benteng itu dibangun setelah kemerdekaan Republik Indonesia oleh seorang tokoh masyarakat tempatan Wan Muhammad Benteng yang bergelar Datuk Kaya Bunguran Timur. Awal mulanya masjid ini dibangun terbuat dari kayu dan merupakan satu-satunya masjid yang ada di Ranai yang kala itu masih amat sunyi dan masih berstatus kewedanaan (Ranai, ibukota kewedaan Pulau Tujuh) dengan penduduk hanya beberapa orang saja. Kampung Ranai berada di pulau Bungguran, pulau terbesar di wilayah Natuna. Natuna dulunya lebih dikenal sebagai wilayah Pulau Tujuh yakni pulau-pulau yang berada di perairan Laut Cina Selatan diantaranya Pulau Jemaja, Siantan, Midai, Bunguran Barat, Bunguran Timur, Serasan dan Tambelan. Sebagai satu-satunya masjid yang menjadi tempat singgah para saudagar atau pedagang keliling dan pelaut, Masjid Jamik memegang peran penting baik sebagai pusat penyebaran Islam maupun aktivitas kemasyarakatan. Imam pertama di masjid tersebut adalah Ustad Abu Bakar yang merupakan seorang ulama dari Singapura. “Dulu, masjid Jamik ini tidak hanya pusat beribadah tapi juga tempat pertemuan masyarakat atau menyelesaikan perkara yang terjadi di Ranai, Saat Bung Hatta datang ke Natuna, dia juga singgah di Masjid Ranai” ungkap H. Wan Suhardi Ketua Pengurus Masjid Jamik. Seingat dia, Bung Hatta datang ke Ranai melalui Pelabuhan Penagih, sebuah perkampungan yang kala itu merupakan pusat perdagangan di Ranai dan kini hanyalah sebuah kampung yang telah ditinggalkan penduduknya. Kehadiran Bung Hatta di masjid tersebut sangat menarik perhatian masyarakat bahkan masyarakat yang berada di ceruk-ceruk kampung di Pulau Bungguran dan pulau-pulau kecil lainnya datang dan memadati Masjid Jamik. “Penuh sesak orang datang ke masjid. Waktu itu saya masih kecil lagi. Seingat saya masjid itu pagarnya dulu dari rantai kapal. Besar-besar rantai besinya,” ungkap Suhardi. Selain berkunjung ke Ranai, Bung Hatta juga berkunjung ke Midai, sebuah pulau di Natuna yang terkenal sebagai penghasil cengkeh. Suhardi yang juga cucu dari Wan Muhammad Benteng mengungkapkan, masjid yang dulunya berhalaman luas itu dibangun dengan cara gotong royong dengan pondasi dari batu laut. “Dari cerita ayah saya, kala itu jika ada warga yang tidak shalat Jumat, maka kakek saya menghukum mereka dengan mengambil batu laut untuk dijadikan pondasi masjid,” ujar Suhardi. Walaupun bangunan masjid berpondasikan batu laut namun dindingnya terbuat dari kayu bulian dan beratap model limas dengan satu kubah. Tahun 1982, masjid kayu tersebut diubah dengan bangunan batu namun kusen yang terbuat dari kayu bulian tetap dipertahankan begitu juga model atapnya dan ukuran masjid pun tetap yakni 17 x 17 meter persegi. Menurut mantan penyiar RRI Ranai ini, luasan lantai masjid tersebut mengambarkan jumlah rakaat shalat lima waktu yang dapat menampung sekitar seribu jamaah hingga ke beranda masjid. Walau bangunan masjid dari kayu telah berganti dengan batu, namun pihaknya sebagai pengurus tidak bisa begitu saja membesarkan ruangan masjid agar dapat menampung jamaah lebih ramai, karena ada pesan tidak tertulis dari pendirinya bahwa masjid boleh diperbesar tapi mimbar tidak boleh bergeser. “Pesan dari orang tua kami seperti itu masjid boleh saja diperlebar tapi mimbar tidak boleh dipindahkan. Akibatnya sampai sekarang masjid ukurannya tetap lagi pula halamannya yang dulu luas kini telah termakan pula untuk jalan umum,” katanya. Selain halaman luas yang telah hilang, akibat dari perombakan bangunan masjid dan makin terjepitnya lokasi masjid dari pertokoan dan rumah warga, juga ikut hilang jam matahari yang berada di sisi selatan masjid. Jam matahari yang berukuran tinggi sehasta itu dulunya terpancang di halaman samping masjid dan dipagari kayu. Jam seperti menara mini itu ujungnya terbuat dari paku panjang. “Saat awal dibangun dulu mana ada jam dinding, untuk mengetahui masuknya waktu shalat berpedoman pada perputaran matahari dan jam matahari itulah yang memandu bilal mengumandangkan azan zuhur, ashar atau magrib,” katanya. Ia mengungkapkan jejak sejarah lain yang hilang dari bagian masjid adalah pagar rantai kapal yang dulu mengelilingi bangunan halaman masjid. “Sekarang orang dah ramai beda dengan dulu masih sunyi lagi pula zaman sekarang besi sangat laku, itu mungkin yang menyebabkan ikut hilangnya pagar rantai besi,” ujar Suhardi seraya tertawa. Ia mengaku, sejak 2005 sepulang dari haji ia menjadi pengurus masjid yang dulunya dibangun oleh almarhum kakeknya itu. Walau, masjid lain terus dibangun seiring makin ramainya penghuni Pulau Bunguran dan Ranai menjadi ibukota Kabupaten Natuna, namun Masjid Jamik Ranai tetap dipadati jamaah apatah lagi di bulan puasa ini. Saban bulan puasa, pihak masjid menyiapkan makanan untuk berbuka bagi masyarakat yang beribadah di masjid tersebut. (ant)

Kisah Batu Catur

Kisah Batu Catur Jumat, 20 July 2012 00:00 RANAI - Zaman dulu kala, penduduk Negeri Serasan dan Negeri Tanjung Datok sepakat membuat jembatan batu yang menghubungkan dua negeri tersebut. Tujuannya, mempermudah lalu lintas menuju kedua negeri tersebut. Inisiatif membangun jembatan itu muncul karena Puteri Langsai dari Negeri Serasan akan menikah dengan Putera Mahkota dari Kerajaan Tanjung Datok. Sebab Negeri Serasan dengan Negeri Tanjung Datok terpisah laut yang tidak begitu luas, dikenal dengan selat. Konon, di Negeri Tanjung Datok, proses pembangunan jembatan tersebut sudah dimulai mengarah ke Negeri Serasan. Demikian juga dengan penduduk Negeri Serasan pun sudah memulai membangun jembatan mengarah ke Negeri Tanjung Datok. Celakanya, sebelum jembatan rampung dikerjakan oleh kedua penduduk negeri itu, keburu air laut mengalami pasang. Saat itu, hulu balang bertugas mengawasi proyek tersebut. Tapi bukannya memberikan pengawasan atau pun arahan kepada rakyatnya, melainkan mereka menyibukkan diri dengan bermain catur. Sehingga proyek raksasa kedua negeri itu tidak bisa terselesaikan. Menerima kenyataan proyek pembangunan jembatan itu tidak selesai, maka raja pun menjadi murka. Ia memarahi hulubalangnnya sambil menghamburkan dan menendang-nendang catur tersebut hingga berantakan. Imbas dari kemurkaan Sang Raja, meninggalkan bekas hingga saat ini. Yakni bebatuan yang menyerupai batu catur dan lengkap dengan papan catur bermotif kotak-kotak. Batu tersebut pada akhirnya oleh masayarakat Natuna sebagai Batu Catur. (cw61)
Powered By Blogger

Motor Ajudan Pribadi Ku

Motor Ajudan Pribadi Ku